Mulai pertengahan 2010, kemendiknas mulai menggunakan
mekanisme baru penyaluran dana BOS. Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer
dari bendahara negara ke rekening sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD
selanjutnya ke rekening sekolah.
Kemendiknas beralasan, mekanisme baru ini bertujuan untuk
memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran
dana BOS. Dengan cara ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu,
tepat jumlah, dan tak ada penyelewengan. Harus diakui, masalah utama dana BOS
terletak pada lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah yang tidak
transparan. Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor,
seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat
pengantar pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah.
Akibatnya, kepala sekolah harus mencari berbagai sumber
pinjaman untuk mengatasi keterlambatan itu. Bahkan, ada yang meminjam kepada
rentenir dengan bunga tinggi. Untuk menutupi biaya ini, kepsek memanipulasi
surat pertanggungjawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim
manajemen BOS daerah. Ini mudah karena kuitansi kosong dan stempel toko mudah
didapat.
Kepsek memiliki berbagai kuitansi kosong dan stempel dari
beragam toko. Kepsek dan bendahara sekolah dapat menyesuaikan bukti pembayaran
sesuai dengan panduan dana BOS, seakan- akan tidak melanggar prosedur.
Tidaklah mengherankan apabila praktik curang dengan mudah
terungkap oleh lembaga pemeriksa, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Ibarat berburu di kebun binatang, BPK
dengan mudah membidik dan menangkap buruan. BPK dengan mudah menemukan
penyelewengan dana BOS di sekolah.
BPK Perwakilan Jakarta, misalnya, menemukan indikasi
penyelewengan pengelolaan dana sekolah, terutama dana BOS tahun 2008-2010,
sebesar Rp 5,7 miliar di tujuh sekolah di DKI Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut
terbukti memanipulasi surat perintah jalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan
kecurangan lain dalam SPJ.
Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian
sekolah di bengkel AC mobil oleh SDN 012 RSBI Rawamangun. SPJ dana BOS sekolah
ini ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parah lagi,
BPK tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang tak tentu rimbanya.
Berdasarkan audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahun
anggaran 2007 dan semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33 provinsi,
ditemukan nilai penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp 28 miliar. Penyimpangan
terjadi pada 2.054 atau 63,5 persen dari total sampel sekolah itu. Rata-rata
penyimpangan setiap sekolah mencapai Rp 13,6 juta. Penyimpangan dana BOS yang
terungkap antara lain dalam bentuk pemberian bantuan transportasi ke luar
negeri, biaya sumbangan PGRI, dan insentif guru PNS.
Periode 2004-2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh
Indonesia juga berhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana
operasional sekolah, termasuk dana BOS. Kerugian negara dari kasus ini lebih
kurang Rp 12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek,
kepala dinas pendidikan, dan pegawai dinas pendidikan telah ditetapkan sebagai
tersangka.
Perubahan mekanisme penyaluran dana BOS sesuai dengan
mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan
politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya, sekolah menanggung
biaya politik dan birokrasi.
Sekolah harus rela membayar sejumlah uang muka ataupun
pemotongan dana sebagai syarat pencairan dana BOS. Kepsek dan guru juga harus
loyal pada kepentingan politisi lokal ketika musim pilkada. Dengan demikian,
praktik korupsi dana BOS akan semakin marak karena aktor yang terlibat dalam
penyaluran semakin banyak.
Penyebab
timbulnya masalah-masalah dalam program BOS yaitu:
1.
Pengalokasian dana
tidak didasarkan pada kebutuhan sekolah tapi pada ketersediaan anggaran.
Hendaknya pengalokasian dana didasarkan pada kebutuhan sekolah, agar tidak
terjadi saling tumpang tindih antara kebutuhan dengan anggaran yang disediakan.
Adakalanya sekolah yang kebutuhannya sedikit, dan ada sekolah yang kebutuhannya
banyak. Jika anggaran semua sekolah sama, di sekolah yang kebutuhannya sedikit
akan memancing timbulnya korupsi karena anggaran yang berlebih, sedangkan di
sekolah yang kebutuhannya banyak akan tetap mengalami kekurangan karena
kebutuhannya tidak terpenuhi;
2.
Alokasi dana BOS
‘dipukul rata’ untuk semua sekolah di semua daerah, pada tiap sekolah memiliki
kebutuhan dan masalah berbeda;
3.
Korupsi dana pada
tingkat pusat (Kemendiknas) terutama berkaitan dengan dana safe guarding;
4.
Dinas pendidikan
meminta sodokan atau memaksa sekolah untuk membuat pengadaan barang kepada
perusahaan tertentu yang sudah ditunjuk dinas;
5.
Kepala sekolah
menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi melalui penggelapan, mark up, atau mark down; dan
6.
Uang yang
dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung bertembah mahal walaupun sudah ada
dana BOS.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jelas terlihat bahwa
didalam implementasinya, fungsi pengawasan sangat kurang. Tidak ada
partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses implementasi anggaran
di semua tingkat penyelenggara, Kemendiknas, dinas pendidikan, maupun sekolah.
Pada tingkat pusat, proses penganggaran pun turut dimonopoli oleh Kemendiknas,
akibatnya kepentingan Kemendiknas lah yang lebih terpenuhi, bukan mendahulukan
yang perlu.
Penyebab yang lain misalnya pada tingkat penyelenggara
(Sekolah dan perguruan tinggi), tidak ada aturan mengenai mekanisme penyusunan
anggaran, warga dan stakeholder tidak memiliki akses untuk mendapat informasi
mengenai anggaran sehingga mereka tidak bisa melakukan pengawasan. Lembaga
pengawasan internal seperti Itjen, Bawasda, Bawasko, pun tidak mampu
menjalankan fungsi. Serta pada tingkat sekolah, semua kebijakan baik akademis
maupun finansial direncanakan dan dikelola kepala sekolah, dan komite sekolah
dibajak oleh kepala sekolah sehingga menjadi kepanjangan tangan kepala sekolah.
Penulis berpendapat, cara penyelewengan dana BOS yang paling
bisa terjadi adalah melalui setoran awal kepada dinas sebelum dana BOS
dicairkan atau didalam sekolah itu sendiri berhubung sekolah tidak melakukan
kewajiban mengumumkan APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) pada papan
pengumuman sekolah. Selain itu, penyusunan APBS terutama pengelolaan dana
bersumber dari BOS kurang melibatkan partisipasi orang tua murid. Akhirnya,
kebocoran dana BOS di tingkat sekolah tidak dapat dihindari. Serta dokumen SPJ
(Surat Pertanggungjawaban) dana BOS yang kurang atau bahkan tidak dapat diakses
oleh publik apabila ada kebutuhan informasi atau kejanggalan dalam pengelolaan
dana BOS.
B.
STRATEGI
PENANGGULANGAN PROBLEMATIKA BOS DARI KACAMATA PERENCANAAN DAN EVALUASI
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dana BOS memang
sudah banyak disinyalir di beberapa tempat, namun tentunya juga hal ini tidak
bisa digeneralisasikan di semua tempat dan kondisi penyalahgunaan wewenang
tersebut terjadi, namun jika dilihat dari segi peluang atau kesempatan, banyak
sekali peluang yang bisa digunakan oleh oknum untuk bisa melakukan
penyelewengan. Oleh karena itu hal yang paling penting adalah meminimalisir
kesempatan dan peluang supaya tidak bisa terjadi dan tidak ada kesempatan oknum
untuk keluar dari aturan yang sudah berlaku.
Menghapuskan kebijakan pendidikan yang bersubsidi jelas
bukan menjadi solusi, karena memang pada intinya pendidikan adalah kebutuhan
primer yang harus terpenuhi, dan juga Undang-Undang kita telah mengamanatkan
untuk memberikan layanan gratis untuk pendidikan dasar. Oleh karena itu,
penghapusan sama sekali kebijakan BOS bukan merupakan solusi bagi kemelut
pengelolaan dana BOS.
Namun, setidaknya ada beberapa langkah yang kemungkinan bisa
diambil oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini diantaranya :
- Peninjauan Kembali Kebijakan
UUD 1945 menyatakan bahwa pendidkan adalah hak bagi semua
warga, terlebih pendidikan dasar untuk wajib belajar Sembilan tahun menjadi hak
utama bagi warga Negara dan Negara wajib mengusahakan pembiayaannya. Ini
menjadi amanat besar dan latar belakang utama kenapa dana BOS hadir dalam
proses pendidikan wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya tidak semua
sekolah dan tidak semua warga Negara membutuhkan dan harus diberi subsidi untuk
pendidikan dasar ini, hal ini terbukti dengan beberapa sekolah yang tidak
menerima dana BOS, tapi tetap menjual kualitas kepada customernya.
Peninjauan kembali bukan berarti penghapusan program, tapi
pembaharuan design program BOS bisa menjadi solusi. Bisa saja pemerintah
mengatur kembali pendanaan untuk sekolah yang sudah maju secara financial dan
juga aturan yang khusus untuk warga Negara yang sudah tidak layak untuk
mendapatkan subsidi.
- Dana Berkeadilan
Adil bukan berarti sama rata, bisa saja besaran antara yang
satu dengan yang lainnya berbeda, tapi secara teknis dan hakikatnya besaran itu
bisa mencukupi serta bisa digunakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu
dana yang berkeadilan sudah saatnya diberlakukan untuk pengelolaan subsidi
pendidikan. Tidak sepantasnya peserta didik yang orang tuanya mampu secara
financial, tapi masuk dan bersekolah di sekolah yang mendapatkan subsidi dari
pemerintah, sehingga disini dibutuhkan peran serta dari sekolah untuk
benar-benar mendata peserta didik yang layak disubsidi.
Jika dana berkeadilan ini benar-benar diterapkan dalam
system pengelolaan dana subsidi pendidikan, bisa saja kedepan orang tua akan
beranggapan jika dia tergolong kedalam warga yang layak mendapatkan subsidi
maka dia harus menyekolahkan anaknya pada sekolah bersubsidi, sedangkan untuk
warga yang tidak masuk kedalam kategori layak subsidi menyekolahkan anaknya ke
sekolah yang tidak bersubsidi. Sehingga konsentrasi dana akan benar-benar
terarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, dan tidak ada kesenjangangn
kualitas antara sekolah yang bersubsidi dengan sekolah yang tidak bersubsidi.
Namun tentunya dana berkeadilan ini dibutuhkan sifat manusia Indonesia yang
baik, tidak mendahulukan ego dalam bertindak dan sadar akan kepentingan umum
atau social.
- Pengwasan yang Efektif dan Efisien
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen atau
administrasi. Pengawasan merupakan tindakan yang berfungsi untuk memperhatikan
kondisi yang terjadi di lapangan dengan kondisi yang diharapkan dari pembuat
kebijakan. Kebijakan subsidi pendidikan yang tertuang dalam program BOS sudah
seharusnya mendapatkan pengawasan yang baik dari pemerintah, karena ini
merupakan program atau kebijakan pemerintah, sehingga perhatian untuk proses
pengawasan pun harus diperhatikan. Selama ini pengawasan yang terjadi pada
pengelolaan dana BOS cukup pada tataran pelaporan saja, sedangkan implementasi
kenyataan di lapangan masih kurang, pihak pengawas, kantor dinas atau
pemerintah, merasa cukup dengan laporan yang ada diatas kertas saja, padahal
jika dilihat di lapangan, belum tentu sesuai dengan apa yang ada dalam laporan,
sehingga disini benar-benar dibutuhkan pengawasan yang efektif dan efisien
untuk menanggulangi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan dana BOS. Pengawsan
melekat dan pengefektifan tenaga pengawasan yang ada bisa jadi menjadi solusi
bagi pengawasan yang efektif.
- Pendampingan Dari Ahli Yang Kompeten
Tidak sedikit juga sekolah yang melakukan kesalahan dan
penyelewengan tidak dengan sengaja, ada juga factor ketidktahuan, atau
ketidaksengajaan, sehingga oleh oknum-oknum pendidikan diperdaya dan
disalahgunakan. Oleh karena itu, pendampingan dari ahli yang kompeten bisa
menjadi solusi untuk masalah ini. Ahli yang dimaksud bukan hanya professor atau
dosen dari ahli keuangan, tapi minimal orang atau lembaga social yang faham
pengelolaan pendidikan, sehingga pemahaman terhadap pengelolaan pendidikan akan
menajdi dasar yang kuat bagi teknis pelaksanaan pengelolaan dana BOS. Hal ini
dikarenakan di sekolah belum ada tenaga professional yang menangani manajemen
sekolah, tenaga yang ada hanyalah lulusan SMA atau bahakan SMP, sedangkan untuk
mengelola dana sebesar ini dibutuhkan beberapa kompetensi yang utama, disamping
tentunya kompetensi manajerial.
Pendampingan bisa saja dari mahasiswa Administrasi
Pendidikan, atau lembaga social lainnya yang bisa ikut mengawal dan menjadi
mitra pendamping bagi sekolah. Hal ini bisa saja menekan penyalahgunaan dan
ketidak tepatan penggunaan dana BOS di sekolah, terlebih lagi di daerah yang
kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya relatif berbeda dengan sekolah
yang sudah lain
BAB III.
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi manusia.
Pendidikan juga memegang peran penting dalam pembangunan, sehingga kemajua
pendidikan sangat dibutuhkan bagi suatu bangsa yang ingin menuju kemajuan.
Untuk kemajuan pendidikan, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dari berbagai
elemen bangsa terutama pemerintah. Dalam UUD 1945, dinyatakan bahwa pendidikan
merupakan hak bagi setap warga Negara, dan untuk program wajib belajar
pendidikan dasar, pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan pendanaannya.
Selain itu, Perkembangan pendanaan pemerintah melalui APBN mengalami
perkembangan, pengurangan subsidi untuk BBM mempengaruhi besaran subsidi untuk
bidang lainnya, begitu juga dengan pendidikan, salah satu hasinya yaitu adanya
pendanaan Bantuan Operasioanl Sekolah (BOS) dalam pendidikan.
Mekanisme pencairan BOS pada awalnya berasal dari pusat,
tapi sejak pertengahan 2010 dana BOS ditransfer ke pemerintah daerah yang akan
menjadi sumber APBD. Shingga saat ini sekolah-sekolah tidak menerima langsung
dari rekening pusat, tapi bersumber pada APBD. Penggunaan dana BOS diperuntukan
bagi seluruh biaya operasional ruti sekolah, sedangkan untuk biaya pembangunan
tidak berasal dari BOS.
Penyalahgunaan pengelolaan dana BOS banyak ditemukan di
beberapa daerah, kasus yang paling sering adalah penggelembungan jumlah siswa,
penyalahgunan dana, dan bahkan data dan pelaporan fiktif sering menghiasi surat
kabar tentang penyelewengan dana BOS. Hal ini bisa juga dipicu oleh system yang
berjalan, lemahnya pengaawasan dan partisipasi public yang kurang, sehingga
menyebabkan tujuan dari adanya subsidi BOS sendiri menjadi kurang dan cenderung
berkurang kebermanfaataannya.
Untuk itu
diperlukan tindakan preventif dari setiap lembaga dan elemen dari bangsa ini
untuk kemajuan dan pengefektifan pengelolaan dana BOS. Diantaranya solusi yang
kami tawarkan adalah kembali mengkaji kebijakan yang sudah ditetapkan, karena
satu kebijakan tidak mungkin langsung cocok pada tataran implemntasi. Selain
itu, kebijakan dana berkeadilan juga bisa menjadi salah satu solusi dari
permasalahan, karena kondisi orang tua dan siswa serta sekolah tidak semua
sama, sehingga yang mendapatan subsidi adalah orang-orang yang benar-benar
layak mendapatkan subsidi. Pengawasan yang lebih efektif dan efisien juga
mendukung pencapaian tujuan dana BOS. Solusi lain yang bisa dicoba adalah
pendampingan oleh ahli yang kompeten bisa mempermudah pengelolaan dan
efektifitas penggunaan dana BOS, mahasiswa Administrasi Pendidikan, serta ahli
dalam bidang manajerial pendidikan bisa menjadi pendamping utama dan ikut
membantu dalam mengarahkan, hal ini dikarenakan kurangnya tenaga profesioanal
terkait administrasi dan manajemen sekolah yang ada di sekolah.
B.
SARAN
- Para stakeholder pendidikan (guru, kepala sekolah, siswa, orang tua murid, masyarakat) harus ikut mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan dan BOS. Hal ini akan sangat berpengaruh kepada efektifitas penggunaan dan BOS.
- Para pelaku pendidkan atau pihak lembaga pendidikan untuk bisa kooperatif dan terbuka, asas tranparansi dan akuntabilitas harus dijadikan patokan dalam pengelolaan dana BOS
- Kepada pemangku kebijakan untuk tetap mengkaji dan mengevaluasi kbijakan yang dikeluarkan, termasuk efektifitas pengelolaan dana BOS
DAFTAR
PUSTAKA
Bag. Perencanaan. (2010). Biaya
Operasional sekolah. [Online]. Tersedia: http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/bos.html
[7 April 2010]
Departemen Pendidikan Nasional. (2010). Biaya Operasional
Sekolah, Jakarta: Depdiknas.
Fattah, Nanang., Kurniatun, Taufani C., dan Abubakar.
(2009). Mata Kuliah: Manajemen Keuangan Pendidikan. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia.
R.I., Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2001 tentang
informasi keuangan daerah. Pemerintah RI.
R.I., Peraturan Pemerintah No 39 tahun 2001 tentang
dekonsentrasi. Pemerintah RI.
R.I., Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2008 Tentang
Pendanaan Pendidikan. Pemerintah RI.
R.I., Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Menteri
Pendidikan Nasional.
Tamin, Sudriman. (2009). Pendidikan Gratis Vs
Undang-Undang BHP . Jakarta: Sosmindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar